Akhir-akhir ini lumayan banyak nasabah asuransi yang mengeluh dan mengaku merasa tertipu oleh perusahaan asuransi. Keluhan ini bisa dengan m...
Akhir-akhir ini lumayan banyak nasabah asuransi yang mengeluh dan mengaku merasa tertipu oleh perusahaan asuransi. Keluhan ini bisa dengan mudah kita temui lewat postingan di grup-grup Facebook, ada juga yang sampai mengirim keluhannya ke forum-forum surat pembaca, baik media cetak ataupun media online nasional. Dan bahkan ada juga yang hingga mengadukan persoalannya ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).
Keluhan nasabah asuransi ini secara garis besar berkisar pada 2 persoalan, yakni klaim yang tidak cair, dan nilai tunai yang tidak seperti di ilustrasi. Porsi paling banyak yang dijadikan topik keluhan rata-rata adalah soal nilai tunai, atau nilai investasi yang tidak seperti dibayangkan. Lantas apakah asuransi menipu? Simak faktanya berikut ini.
Sebenarnya banyak juga nasabah asuransi yang justru telah merasakan manfaat dan keuntungan dari produk perencanaan keuangan jangka panjang ini. Fakta ini yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Apalagi lantas menuduh perusahaan asuransi telah menipu adalah pemikiran yang terlalu jauh.
Berkaca dari pengaduan nasabah asuransi yang masuk ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), sumber persoalannya justru diduga dari miss-selling yang dilakukan oleh agen, dan bahkan banyak di antara nasabah itu sendiri yang tidak cermat atau bahkan abai saat membaca perjanjian asuransi.
Menurut Wakil Ketua BPKN, Rolas Sitinjak, aturan pendaftaran dan persyaratan Agen Asuransi perlu diperbaiki agar tak terjadi penyimpangan (fraud) asuransi. Untuk itu Rolas juga mengimbau agar nasabah asuransi lebih cermat saat membaca perjanjian agar tidak merasa dirugikan saat menggunakan layanan asuransi. "Ini juga salah konsumen karena tidak baca perjanjian," jelas Rolas dalam keterangannya, mengutip cnbc.com, Senin (15/6/2020).
Pernyataan ini sangat beralasan, bahwa pintu pertama agar terhindar dari potensi kerugian, para nasabah asuransi harus cermat membaca perjanjian asuransi.
Karena nyatanya semua produk investasi, entah itu saham, obligasi, reksadana, ataupun asuransi unit link mengandung risiko yang tentu saja harus siap ditanggung oleh nasabah itu sendiri.
Sebagaimana reksadana, Nilai tunai dan perkembangan investasi pada produk asuransi unit link sangat bergantung pada kondisi pasar modal atau pasar saham. Apalagi jika nasabah memutuskan untuk mengambil produk investasi dari asuransi unit link ini dalam jangka pendek (putus kontrak ditengah jalan), maka risiko kerugian akan cukup besar. Hal ini harus dipahami sedari awal, sebab, produk investasi dari asuransi unit link memang idealnya untuk jangka panjang.
Apalagi khusus untuk tahun 2020 ini, perekonomiann global tengah guncang karena pandemi Covid-19. Bursa efek nasional, dan banyak negara di dunia pada rontok berjatuhan. Efek paling jelas dari rontoknya bursa saham bagi nasabah asuransi adalah, jika nasabah mencairkan dananya sekarang, hampir bisa dipastikan akan mengalami kerugian. Apalagi, entah disadari oleh nasabah atau tidak, portofolio insvestasi pada produk asuransi unit link yang dimiliki nasabah, kebanyakan memang masuk pada instrumen saham.
Dalam situasi seperti ini, nasabah yang telah memahami bagaimana kinerja investasi, justru akan menahan dananya, dan tidak mencairkannya. Bahkan nasabah yang masih memiliki cukup dana tambahan, akan justru melakukan top up pada portofolio investasinya.
Persoalan ini harus dipahami betul oleh nasabah. Jangan sampai kemudian merasa tertipu dibelakang hari, akibat tidak memahami aturan main dari produk yang telah dibelinya. Padahal semua klausul perjanjian antara perusahaan asuransi dengan nasabah telah tertulis dengan jelas dan lengkap pada buku polis yang diberikan kepada nasabah.
Malah-malah jangan sampai karena terbawa emosi, hingga akhirnya secara sembarangan mengeluh di media sosial. Lebih baik tanyakan dulu secara jelas kepada agen asuransi yang melayani pembukaan polis Anda. Tanya sekali kurang jelas, boleh tanya berkali-kali hingga paham.
Jangan sampai curhatan nasabah dimedia sosial justru menjadi boomerang, yang pada akhirnya justru membawa nasabah itu sendiri untuk berperkara dengan hukum.
COMMENTS