Setahun sudah, Wahono (58), menjalani profesi sebagai pengemudi taksi online di Jakarta. Di usia yang semestinya digunakan untuk menik...
Setahun sudah, Wahono (58),
menjalani profesi sebagai pengemudi taksi online di Jakarta. Di usia yang
semestinya digunakan untuk menikmati hidup, hingga kini dia harus habiskan
untuk tetap mencari nafkah.
Padahal sejak berusia 31 tahun,
dia bekerja sebagai petugas administrasi di salah satu Perguruan Tinggi Swasta
(PTS) di Jakarta. Pun saat pensiun pada tahun 2017, dia menerima sejumlah uang
dari perusahaan dan BPJS Ketenagakerjaan.
“(Uang pensiun dari BPJS
Ketenagakerjaan dan perusahaan) enggak cukup,” kata Wahono kepada kumparan.
Sebenarnya seusai pensiun, dia
sempat pulang ke kampung halamannya di Madiun, Jawa Timur. Wahono berpikir,
duit pensiun dari perusahaan dan BPJS Ketenagakerjaan-nya cukup sebagai modal
hidup di kampung.
Namun rencana itu tak berjalan
sesuai rencana. Baru beberapa bulan tinggal di kampung, anak pertamanya minta
menikah. Karena anaknya laki-laki, pihaknya yang harus menanggung sebagian
besar biaya pernikahan.
“Sudah kerja, tapi belum punya
uang dia. Banyak habis di situ. Namanya orang tua kan,” ujar Wahono.
Menengok uang pensiun makin
terkikis, sementara anak keduanya masih mengenyam bangku kuliah, membuat Wahono
ingin kembali ke Jakarta untuk bekerja. Dia tak memiliki uang selain dari dana
pensiun perusahaan dan BPJS Ketenagakerjaan.
“Enggak ada tabungan pensiun.
Kerja lagi biar kalau anak kedua saya butuh, saya bisa ngasih,” ucapnya.
Senada, pensiunan PT Pos
Indonesia, Danang (68), tak bisa menggantungkan hidupnya dari dana pensiun.
Kini, pria kelahiran Kulon Progo, Yogyakarta, itu tinggal bersama putra
pertamanya agar kebutuhan sehari-hari dapat tercukupi.
“Nilai pensiunnya enggak besar,
enggak cukup hitungannya. Sekarang bapak tinggalnya sama saya,” kata putra
pertama Danang, Edi Supriyanto.
Cerita bekal uang pada masa
pensiun tak mencukupi, tak hanya dialami Wahono dan Danang. Banyak orang
pensiun lain yang mengalami hal serupa.
Berdasarkan survei bertajuk 'HSBC
Future of Retirement Bridging The Gap' yang dilakukan pada 1.050 orang di
berbagai wilayah di Indonesia pada awal 2019, hanya 30 persen orang yang sadar
dan tergerak untuk mempersiapkan dana pensiun. Sementara 70 persen sisanya
belum mempersiapkan.
Anggota Dewan Komisioner Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Tirta Segara,
mengungkapkan salah satu alasan mayoritas pekerja di Indonesia tak menyisihkan
uang untuk dana pensiun karena tingkat literasi yang rendah.
Berdasarkan catatan OJK, jumlah
peserta program dana pensiun baru mencapai 4,63 juta orang hingga akhir 2018.
Angka itu merupakan peserta program Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan Dana
Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK).
Padahal dari laporan Badan Pusat
Statistik (BPS) pada Februari 2019, jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia
mencapai 129,36 juta jiwa, baik di sektor formal maupun informal. Jumlah itu
bertambah 2,29 juta jiwa dibanding Februari 2018.
“Literasi (pemahaman soal dana
pensiun) kita rendah. Penting untuk generasi milenial memperhatikan tujuan
jangka panjang,” kata Tirta.
Perencana Keuangan Mitra Rencana
Edukasi, Andy Nugroho, menjelaskan mayoritas pekerja di Indonesia memang belum
paham pentingnya menyiapkan dana pensiun. Tak hanya milenial, juga pekerja yang
hampir pensiun masih banyak yang belum paham.
“Jangankan anak yang baru lulus
kuliah, mereka mungkin yang udah umur 35 sampai 40 tahun aja kadang masih belum
mikirin sampai sejauh itu. Jadi kalau dibilang literasinya kurang, kesadarannya
kurang, seperti itu posisinya,” ujar Andy.
Menurut dia, negara yang tingkat
literasi dana pensiunnya sudah tinggi yakni Singapura. Di negara itu sejak awal
bekerja, sebagian besar masyarakatnya sudah memikirkan dana pensiun. Sebab
mereka sadar biaya hidup di negara itu makin lama makin tinggi.
“Sebagai contoh orang Singapura
ya. Mereka sudah mulai menabung untuk masa pensiunnya itu begitu lulus
kuliah.Mereka sadar di Singapura biaya hidupnya tinggi banget, masa tua mereka
pikirkan,” bebernya.
Andy mengakui ketika pekerja tak
memikirkan dana pensiun, secara otomatis pekerja tersebut saat memasuki usia
pensiun akan kembali bekerja atau bergantung kepada anak. Di samping itu
terdapat risiko lain terparah, yaitu memasuki masa pensiun kemudian sakit dan
anak belum kuat secara finansial.
“Kenapa saya bilang bergantung
sama anak itu berisiko?. Karena kalau mereka sendiri ternyata juga kesulitan,
itu kan memperparah keadaan. Kalau kebutuhannya sudah tercukupi semua dan ada
lebihnya, ya dengan enak bisa membantu orang tua,” katanya.
Pensiun, adalah masa di mana seseorang
purna bekerja. Dia bisa menikmati sisa hidup dengan kegiatan yang sebelumnya
tak bisa dilakukan. “Misalnya berlibur dan menikmati sisa masa tua tanpa
memikirkan beban biaya hidup,” kata Andy.
*Artikel ini dikutip sepenuhnya dengan judul dan isi yang sama dari kumparan.com
COMMENTS