Seorang warganet, dengan akun facebook Sigit Setyawadi , yang nampaknya adalah seorang dokter membagikan sebuah status cerita yang kemu...
Seorang warganet, dengan akun facebook Sigit Setyawadi, yang nampaknya adalah seorang dokter membagikan sebuah status cerita yang kemudian menjadi viral. Status ini mengajarkan kepada kita semua bagaimana memperlakukan uang, bagaimana memiliki gaya hidup “apa adanya” meskipun mungkin tidak pernah kekurangan uang. Sangat menarik menyelami cerita ini. Dan, beginilah cerita lengkapnya.
*BELAJAR DARI PEMBANTU*
Saat itu saya masih
mahasiswa, antara 1975
- 1980. Menjelang hari raya, pembantu yu Reni kakak saya yang
dipanggil mbok, pamit pulang ke kampung. Dia menitipkan perhiasan emasnya ke
kakak saya. Kakak saya menanyakan mengapa perhiasannya tidak dipakai selama
lebaran di kampung ? Bukankah itu akan membuat mbok bangga.
Jawaban mbok luar biasa, dan
selanjutnya saya pakai sebagai pedoman hidup saya. Dia menjawab dengan bahasa
jawa, tetapi bahasa Indonesianya begini _:"Kalau saya yang memakai,
meskipun emas asli, akan dianggap imitasi. Sebaliknya kalau jeng yang pakai
(beliau memanggil kakak saya jeng), imitasipun akan dianggap sebagai
asli".
Kalimat itu terus mengiang di
telinga dan semakin lama semakin terbukti kebenarannya. Bukan apa yang dipakai
tetapi siapa yang memakai itu yang paling penting.
Saat menjadi dokter umum di
Puskesmas Kerek, saya sudah dianggap paling kaya oleh teman teman, karena
pasien saya memang sangat banyak. kalau hari Senin sekitar 100 orang, hari lain 50 an. Suatu saat
kacamata saya tertinggal di Dinas Kesehatan Tuban (saat itu masih menjadi satu
dengan Rumah Sakit). Saya sendiri sudah lupa dengan kacamata itu karena itu
kacamata murahan, 10 ribu dapat 3. Ketika saya berkunjung lagi ke sana,
kepala kantor pak Eko menemui saya membawa sebuah bungkusan. Rupanya ada
karyawan yang menemukan kacamata itu dan tahu itu milik saya. Pak Eko
mengatakan kepada stafnya kalau milik pak Sigit pasti mahal, jadi mereka simpan
dengan hati hati. Ketika saya katakan bahwa ini kacamata 10.000 dapat tiga, beliau tidak percaya dan
menganggap saya bergurau.
Begitulah kehidupan saya,
tidak pernah aneh aneh. Baju dan celana juga yang murah murah. Celana pendek
untuk di rumah sama dengan yang dipakai sopir mertua. Ibu mertua saya yang suka
sewot kalau saya memakai celana atau kaos yang sama dengan yang dipakai sopir.
Sampai menjadi spesialispun,
kacamata baca masih saya beli di pinggir jalan. Semua menganggap itu mahal,
kecuali orang yang ahli tentunya. Suatu saat, ketika kontrol pasca melahirkan,
pasien saya yang pemilik toko kacamata memberi saya hadiah kacamata baca.
Dengan serius beliau mengatakan, "Dok, saya yang malu melihat dokter
pakai kacamata 10 ribuan". Rupanya beliau tahu nilai kacamata saya.
Saya yang pakai, dia yang malu. Yang salah siapa ya ?
Bu Wati lebih gila lagi.
Sewaktu di Batu, beliau biasa saja naik angkot maupun ojek. Suatu hari naik
angkot turun di depan Klinik saya. Kondektur teriak rumah sakit dokter Sigit
dan mengira isteri saya akan periksa. Padahal dialah pemiliknya.
Bagitulah, kami beranggapan
bahwa apapun yang kami pakai akan nampak mahal, meskipun sebenarnya murah.
Itulah perasaan kaya yang sesungguhnya. Tidak perlu harus mengada adakan supaya
dianggap kaya. Karena percuma saja, bawah sadar kita akan memvibrasikan
kondisi kita yang sebenarnya.
Secara keuangan, orang kaya
hidup dibawah standard kemampuannya, sehingga bertambah kaya. Sedang orang
miskin hidup diatas kemampuannya sehingga bertambah miskin.
Semoga bermanfaat.