Saat mulai browsing, rutinitas pagi hari sambil menyeruput secangkir kopi, saya menemukan sebuah artikel yang lumayan menarik Disi...
Saat mulai
browsing, rutinitas pagi hari sambil menyeruput secangkir kopi, saya menemukan
sebuah artikel yang lumayan menarik Disini. Isinya tentang pemaparan dan ulasan
serta alasan kenapa kaum milenial harus mulai belajar untuk berinvestasi sejak
dari sekarang. Investasi, juga proteksi harus dimulai dan dibiasakan sedini
mungkin.
Artikel yang
berlandaskan pengalaman pribadi penulis ini saya yakin akan mampu menggugah
kesadaran dan minat kaum milenial untuk segera memulai berinvestasi. Silahkan dibaca
artikelnya saya cantumkan di bawah ini.
___________________
Sudah Saatnya Kaum Milenial Berinvestasi
Mungkin yang
pernah mendengar karier Warren Buffet bisa mengerti apa yang saya kutip di
atas. Namanya sih sudah sangat terkenal di mata para pengusaha dan investor
global, meskipun mungkin masih agak asing ya di telinga sebagian kaum milenial
di Tanah Air.
Warren Buffet
ialah Chief Executive Officer (CEO) Berkshire Hathaway, perusahaan investasi
yang berbasis di Amerika Serikat. Perusahaan ini melakukan investasi di lebih
dari 60 perusahaan, termasuk membeli saham perusahaan asuransi Geico, pembuat
baterai Duracell, dan jaringan restoran Dairy Queen.
Warren Buffet
adalah salah satu investor paling sukses di dunia. Kekayaannya, menurut catatan
majalah Forbes, sudah mencapai USD 89,2 miliar atau jika dirupiahkan dengan
kurs sekitar Rp14.500 per dolar AS, maka harta kekayaan Warren Buffet nilainya
mencapai Rp 1.293 triliun, gede banget.
Jadi, kalau
bicara soal investasi, sudah tak diragukan lagi Warren Buffet menjadi salah
satu panutan bagi orang-orang yang ingin sukses berinvestasi. Bayangkan saja,
dia bahkan sudah terjun berinvestasi sejak usianya 11 tahun, dengan membeli
satu saham perusahaan di bursa efek Amerika. Kesadaran berinvestasi sejak belia
dan kesuksesannya inilah yang selalu menginspirasi, terutama bagi kita yang
ingin memulai investasi dan ingin sukses seperti dia.
Investasi
sudah menjadi satu kata yang amat populer belakangan ini, ditandai dengan makin
banyaknya orang yang menyadari pentingnya investasi sebagai salah satu cara
mengelola keuangan pribadi agar bisa mapan secara finansial. Kini, makin banyak
kita temui artikel, topik talkshow di televisi, radio, seminar, workshop, dan
perbincangan di ruang-ruang kantor soal investasi. Mulai dari memperkenalkan
berbagai jenis investasi seperti emas, deposito, properti, saham, reksa dana,
unit link, obligasi negara (ORI dan SBR, dua surat utang pemerintah yang dijual
secara ritel buat investor masyarakat seperti kita) atau sekadar berbagi tips
berinvestasi.
Kenapa sih
investasi menjadi penting?
Jujur,
setelah saya mulai memiliki tabungan dari usaha saya, langkah berikut yang saya
lakukan adalah memecah portofolio investasi– tidak hanya di usaha saya saja,
tetapi juga di tempat lain. Gak usah banyak-banyak, bukan artinya harus belasan
juta atau bahkan puluhan juta. Start small aja. Yang penting ada investasi baru
yang kita bisa pegang.
Mengapa?
Seperti istilah “never put all your eggs in one basket” alias jangan
pertaruhkan semua harta dalam satu tempat, saya percaya kita harus membagi
risiko tabungan finansial kita. Cari yang bisa menguntungkan walaupun mungkin
dalam jangka panjang. Walaupun dalam jumlah kecil, saya rasa perlahan tetapi
pasti apabila kita konsisten dalam “menabung” atau berinvestasi, ujung-ujungnya
akan berbuah asalkan terus dijaga ya.
Oke, mari
lihat gambaran sedikit ya soal data investor di Indonesia. Jumlah investor di
Indonesia ini ternyata masih rendah sekali, bisa dibilang jauh dengan
negara-negara lain. Saya coba ambil data dari Kustodian Sentral Efek Indonesia,
bahwa jumlah investor di pasar modal baru 1,4 juta orang hingga Agustus 2018.
Dengan jumlah penduduk negeri ini yang sudah mencapai 258 juta orang, kebayang
kan persentase jumlah investor tadi? Hanya 0,5 persen.
Angka tadi
juga amat sangat rendah dibandingkan dengan jumlah penduduk produktif Indonesia
yang diprediksi mencapai puncak pada tahun 2030. Kalau kita baca hasil prediksi
Badan Pusat Statistik (BPS), kaum muda-lah yang akan dominan di masa mendatang.
Sebenarnya sudah terbaca dari data penduduk 2016 di mana dari 258 juta, BPS
menyatakan jumlah itu didominasi oleh kelompok umur produktif yakni antara
15-34 tahun.
Hanya saja,
tidak mudah menarik minat investasi, apalagi buat kaum milenial. Banyak sekali
alasannya, ada yang menunggu sampai punya banyak uang dahulu baru mau jadi
investor, padahal enggak harus jadi jutawan dulu untuk memulai investasi. Untuk
menjadi investor, yang dibutuhkan selain uang, tentu saja adalah disiplin dan
komitmen.
Untuk menjadi
investor, yang dibutuhkan selain uang, tentu saja adalah disiplin dan komitmen.
Ada juga yang
beralasan, “nanti dulu deh investasinya” atau “boro-boro investasi, bulanan aja
kurang." Banyak orang muda yang sehabis gajian, dihabiskan dahulu, baru
sisanya ditabung. Padahal ini kebiasaan yang salah di kalangan anak muda. Ada
pula yang enggan berinvestasi karena ya terlanjur boros dalam mengeluarkan uang
untuk gaya hidup dan ‘terjebak’ bunga utang kartu kredit yang tinggi.
Hasil survei
Kompas (April 2017) mengenai karakteristik 300 responden kaum milenial (lahir
antara tahun 1982–1995) menunjukkan bahwa kelebihan gaji mereka dialokasikan
untuk jalan-jalan, beli pakaian, nongkrong, nonton, belanja makeup, sepatu,
hingga modifikasi kendaraan. Bahkan 66 persen menjawab untuk kebutuhan
jalan-jalan.
Mungkin hal
ini tidak mengagetkan karena biasanya karakter milenial memang tak bisa
terlepas dari stereotip ingin eksis, mendapatkan pengakuan, terutama di media
sosial. Sebagai seorang milenial (saya lahir di tahun 1987), sebenarnya bukan
masalah eksis, tetapi lebih keinginan menjalani hidup to the fullest, menikmati
langsung hasil kerja keras.
Kasarnya,
Work hard, Play hard. Di zaman dimana media sosial terkadang lebih dipentingkan
daripada realita, saya rasa banyak sekali kaum milenial ingin terlibat dan
‘terlihat’, ataupun hanya ingin menikmati apa yang sedang populer dan trendi di
saat ini. Tentu zaman ini berbeda dengan apa yang dialami generasi sebelumnya,
yaitu gen X (lahir antara 1968 - 1979).
Menurut
survei yang dilakukan Opinion Research Corporation (ORC) International –
perusahaan riset demografi, kesehatan, dan pasar – pada Juli 2016, gen X lebih
suka menabung untuk investasi jangka panjang ketimbang menabung untuk tujuan
jangka pendek.
Sebetulnya
survei atau hasil riset yang saya sebutkan tadi memang tak bisa sepenuhnya
mewakili fakta riil di Indonesia, apalagi survei ORC International sendiri juga
dilakukan global, tak hanya Indonesia. Tapi hasil itu setidaknya menjadi
gambaran betapa tak mudah menarik minat investasi kaum milenial. Padahal
dampaknya bisa sangat mengkhawatirkan buat kaum milenial apabila dijadikan
kebiasaan.
Saya sendiri,
bersama Ria Sarwono, sahabat saya sejak SMP, yang memulai membangun local
fashion brand COTTONINK pada 2008 (dengan bermula dari jualan kaus bergambar
muka Presiden Amerika Serikat Barack Obama pada tahun 2008), juga tidak
langsung bisa memiliki investasi. Tetapi kami menyadari pentingnya berinvestasi
dan memulainya sedikit demi sedikit, bulan demi bulan.
Belum lagi
tingkat inflasi yang pastinya akan mempengaruhi “nilai” dari tabungan kita.
Apabila kita tidak melakukan apapun, uang tabungan yang kita miliki sekarang
akan makin berkurang “value”-nya. Sebut saja, misalkan harga tiket atau makanan
yang sama pasti sudah lebih mahal sekarang daripada 3 tahun lalu.
Pemahaman
investasi yang belum mendalam dan meluas di masyarakat Indonesia membuat banyak
orang jadi takut dan tidak berani melakukan investasi. Akan tetapi, beberapa
tahun belakangan, saya melihat tendensi informasi mengenai jenis investasi
seperti saham, obligasi, reksa dana, deposito, ORI, SBR, unit link, ataupun
properti sudah mulai marak di media massa dan media sosial.
Tinggal
bagaimana kita memilih investasi yang sesuai dengan tujuan dan kemampuan
finansial, karena semua investasi pada prinsipnya punya kelebihan dan
keuntungan masing-masing, dengan kadar risiko yang berbeda. Kalau kalian adalah
tipe risk taker, bisa pilih investasi dengan return tinggi tapi risiko juga
tinggi. Sebaliknya, kalau tipe low risk, pilih saja investasi yang mudah.
Tapi yang
perlu diingat, kalian harus waspada atas iming-iming janji investasi yang
tinggi dalam jangka pendek, atau penawaran investasi dari perusahaan yang tidak
jelas alias bodong. Cek lebih dahulu izinnya di OJK, tercatat atau tidak.
Jangan lupa
untuk memproteksi diri dengan asuransi, alih-alih aset yang kita kumpulkan dari
berinvestasi malah tergerus beragam risiko yang tidak terlindungi. Produk
asuransi unit link seperti PRUlink Generasi Baru atau PRUlink Syariah Generasi
Baru dari Prudential juga dapat menjadi pilihan karena memiliki fitur-fitur
utama yang inovatif seperti PRUbooster Investasi dan PRUbooster proteksi.
PRUbooster
investasi, yang pertama kali di pasar, adalah fitur yang memungkinkan nasabah
mendapatkan tambahan alokasi investasi setiap tahunnya sejak premi pertama
dibayarkan. Sementara dengan PRUbooster proteksi, nasabah akan dapat memilih
agar Uang Pertanggungannya meningkat setiap tahun, tanpa perlu pernyataan
kesehatan.
Nah intinya,
yuk mulai investasi, jangan menungggu tua dahulu, baru investasi. Selagi masih
muda, mulailah mengalokasikan uang untuk berinvestasi. “Never depend on a
single income, make an investment to create a second source,” begitu kata
Warren Buffet.
_____________________Mungkin anda tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang Prulink Generasi Baru yang sempat disinggung dalam artikel diatas. anda bisa mengetahui lebih jauh dengan mengikuti tautan ini DISINI
COMMENTS