Tidak usah khawatir. Saya tetap olahraga. Tiap hari. Biar pun perjalanan ini belum juga berhenti. Dari hari ke hari. Di Amerika ini. T...

Tentu saya tidak bisa senam lagi. Dengan teman-teman klub kami. Di Surabaya maupun di Betawi.
Alhamdulillah
olahraga terjaga. Begitu tiba di rumah drg Ibrahim Irawan saya langsung
bertanya: di mana tempat olahaga. Di Arcadia ini. Di Los Angeles ini.
''Jalan pagi saja. Di komplek perumahan kami ini. Enak sekali,'' kata
tuan rumah.
Saya tidak mau jalan pagi. Kurang seru. Terlalu santai. Sulit mencapai detak jantung 110 kali/menit. Secara konstan.
Padahal,
olahraga itu ada definisinya: ''Gerak tubuh, yang membuat jantung
berdetak minimal 110 kali, selama 10 menit terus menerus''.
Jadi harus ada unsur:
1. Gerak tubuh.
2. Detak jantung 110 kali.
3. Minimal 10 menit.
4. Terus menerus.
1. Gerak tubuh.
2. Detak jantung 110 kali.
3. Minimal 10 menit.
4. Terus menerus.
Salah
satu saja tidak terpenuhi belumlah bisa disebut olahraga. Misal:
tiba-tiba detak jantung Anda 110 kali. Tanpa badan bergerak. Itu tidak
bisa disebut olahraga. Itu disebut orang kaget.
Begitu
juga jalan santai. Tidak mungkin bisa membuat detak jantung 110 kali.
Langkahnya terlalu ringan. Apalagi kalau jalannya sering berhenti.
Menyapa teman. Atau disapa. Rusaklah olahraganya.
Banyak
juga orang semangat lari. Detak jantung orang lari bisa mencapai 130
kali. Tapi sering kali baru lima menit berhenti. Tidak tercapai unsur 10
menit. Terus menerus.
''Ada gym di dekat sini,'' ujar Ny Irawan yang juga dokter gigi. Sama-sama alumni Trisakti Jakarta.
Maka
selama saya tinggal di rumah drg Irawan ke situlah saya. Gymnya buka 24
jam. Belum pukul lima pagi saya sudah mancal. Selama satu jam. Tidak
berhenti. Juga tidak melambat. Dengan kecepatan 30 km/jam.
Dari layar monitor saya baca: lima menit pertama baru bisa bikin detak jantung 100. Setelah 10 menit baru bisa 110.
Skala itu saya pertahankan. Selama 50 menit kemudian. Begitu mencapai satu jam saya lihat: jumlah kalori yang terbakar 310.
Maafkan.
Saya akhirnya kecantol gym. Ini gara-gara harus menunggui istri selama
seminggu di rumah sakit Samarinda. Saat operasi batu ginjal dulu itu.
Ada gym di dekat rumah sakit itu. Sangat sederhana. Tapi ya sudah.
Dijalani saja. Rp 25 ribu/jam.
Begitulah. Selama seminggu itu saya terus menerus mancal. Ditemani rekan-rekan wartawan Samarinda. Pindah-pindah gym pula.
Di
Amerika tentu lebih mahal. Di dekat drg Irawan itu sekali datang USD 28
dolar. Berarti hampir Rp 400 ribu. Dolarnya sih murah. Hanya 28. Tapi
rupiahnya yang mahal. Sekarang ini.
Pun kalau dihitung-hitung perjam sebenarnya tidak mahal. USD 28 itu boleh 24 jam. Tapi siapa mau olahraga 24 jam?
Di
halaman belakang rumah drg Irawan saya lihat banyak kayu. Ada juga alat
pertukangan. Saya pun minta satu ranting. Yang panjang mulus itu. Saya
potong dengan gergaji. Jadi 1,5 meter.
Tongkat
itu saya bawa dalam perjalanan. Saya masukkan mobil. Tiap kali saya
merasa penat saya berhenti. Memutar pinggang. Dengan bantuan tongkat
itu.
Begitulah. Di Las Vegas saya juga ke gym. Yang untuk ke ruang gymnya harus melewati meja-meja judi.
Di
kota-kota kecil pun hotelnya dilengkapi gym. Misalnya di kota Kanab. Di
Arizona. Dekat Grand Canyon itu. Penduduk kota ini hanya 15.000. Tapi
punya gym.
Demikian
juga di kota kecil Salina. Dekat Salt Lake City. Atau di kota Grand
Junction di kaki pegunungan Rocky Mountain. Di Idaho Springs. Di
Burlington.
Itu
kota-kota kecil semua. Tapi hotel-hotel kecilnya memiliki gym semua.
Demikian juga ketika tiba di Hays lagi. Kota berpenduduk 40.000 ini
punya gym yang amat besar. Amat lengkap. Belum pernah saya melihat gym
yang alatnya selengkap ini.
Ruang
gymnya dua lantai. Masing-masing seluas dua lapangan basket. Masih ada
lagi ruang yoga. Ruang senam. Ruang rehabilitasi jantung. Ruang
fisioterapi.
Selama
tinggal di rumah John Mohn saya ke gym itu. Tiap jam enam pagi. Sambil
membawa tongkat dari Los Angeles. ''Itu tongkat untuk apa?,'' tanya
seorang pelatih di gym itu.
Saya
jelaskan: kian tua saya ini terlihat kian bungkuk. Seperti ayah saya.
Tongkat ini membantu saya menegakkan punggung. Lalu saya demonstrasikan
gerakan tongkat itu. ''Saya mau praktekkan juga di sini,'' katanya.
Mungkin basa-basi.
''Tidak perlu. Punggung Anda kan bagus,'' jawab saya.
Wanita
muda itu lantas berlalu. Saya tidak sempat menjelaskan ini: bahwa
tongkat itu mungkin tidak ilmiah. Bukan saran dari ahli fisioterapi.
Akhirnya saya menemukan pengganti senam. Meski kangennya kadang tidak ketulungan.(dahlan iskan)
COMMENTS