Ayolah kita mulai. Kata saya. Pada empat orang yang ada di masjid itu. Saya bisa khotbah. Kata saya lagi. Kalau tidak ada yang khot...
Ayolah
kita mulai. Kata saya. Pada empat orang yang ada di masjid itu. Saya
bisa khotbah. Kata saya lagi. Kalau tidak ada yang khotbah.
Jam
sudah menunjukkan angka 14.39. Sudah hampir ashar. Jumatan belum
dimulai. Tidak ada repons dari empat orang itu. Semuanya berwajah Arab.
Mungkin tidak paham. Dengan bahasa Arabnya orang Jawa seperti saya.
Lalu
saya ulangi lagi. Dengan lidah yang lebih saya Arab-arabkan. Kali ini
ada yang menjawab. Yang bersandar ke dinding samping itu. Ia lantas
merogoh saku celana. Ambil HP. Bicara-bicara.
Yang diajak bicara ternyata nongol di pintu ruang salat. Sambil menutup HPnya. Memasukkannya lagi ke saku celana.
Dari
pintu itu ia langsung melangkah ke arah kursi depan. Duduk di situ.
Sambil mengusap rambutnya. Dengan satu tangannya. Lalu mengusapkan
tangannya itu ke celana jeannya.
Satu-satunya
jemaah tua di situ langsung berdiri: azan. Ialah satu-satunya yang
tidak bersandar ke dinding. Orang pertama yang tiba di masjid Hays,
Kansas, Jumat lalu.
Saya
kenal wajahnya. Ia imam. Tiga bulan lalu. Saat saya ke Hays ini. Ia
yang juga khotbah saat itu. Dengan celana jeansnya. Dengan topi pet yang
ia balik di kepalanya.
Selesai
azan, pemuda yang duduk di kursi itu merogoh saku celana. Ambil HP.
Membukanya. Lalu berdiri. Membaca khotbah dari layar HP. Semua dalam
bahasa Arab. Saat khotbah dibaca beberapa lagi tiba. Total menjadi 9
orang. Yang Jumatan hari itu.
Khotbahnya
pendek. Hanya 10 menit. Yang mendengarkan juga santai: duduk bersandar
ke dinding. Ketika doa di akhir khotbah tidak ada yang mengangkat
tangan.
Inilah
khotbah yang sangat pendek. Meski masih kalah pendek dengan di masjid
Kebon Jeruk Jakarta. Di pusatnya Jamaah Tabligh itu. Di jalan Hayam
Wuruk itu. Saya suka Jumatan di situ. Khotbahnya hanya lima menit.
Dengan bahasa Arab semua.
''Kok masih di Hays? Putrinya belum lulus?,'' tanya saya ke orang tua yang azan itu.
''Masih 1,5 tahun lagi,'' katanya.
Memang
kian sedikit mahasiswa dari Timur Tengah di Hays. Kota yang penduduknya
hanya 40.000 orang ini. Yang letaknya sangat di pedalaman ini. Yang
sejauh mata memandang hanya ada ladang pertanian dan peternakan ini. Dan
sumur-sumur angguk minyak ini.
Yang
bertambah adalah mahasiswa dari Tiongkok. Sudah 100 orang saat ini.
Fort Hays State University memang menjalin kerjasama dengan perguruan
tinggi di Henan. Di pedalaman Tiongkok. Saya pernah mengantar Chris Mohn
ke Universitas di Henan itu.
Chris
Mohn adalah istri John Mohn. Teman saya itu. Dia dosen di FHSU itu.
Chris memperoleh masternya di Wichita State University. Yang juga
kampusnya Sandiaga Uno itu. Tidak jauh dari Hays. Untuk ukuran jarak di
pedalaman Amerika: 250 km.
Saat
menulis artikel ini saya lagi duduk-duduk makan siang. Di dalam
kampusnya Sandi itu. Di kursi kayu di bawah pohon rindang. Makan
buritto. Bikinan saya sendiri. Yang saya bawa dari Hays.
Dari
tempat makan ini saya bisa melihat bangunan kecil: kedai Pizza Hut.
Saya baru saja dari kedai itu. Itulah kedai Pizza Hut pertama di dunia.
Dari kedai itu Pizza Hut memulainya. Dengan tujuan pertama dulu:
menyediakan pilihan makanan murah untuk mahasiswa. Kini kedai itu jadi
museum Pizza Hut. Museum yang amat kecil. Untuk melihat seluruh isinya
cukup mengintip dari kaca jendelanya.
Dari
kursi makan siang ini saya juga bisa membayangkan bagaimana Sandi
kuliah di sini. Dan lulus dengan summa cum laude. Untuk mata kuliah
akuntansi.
Selesai acara di Wichita saya ke Columbia. Di negara bagian Missouri. Yang kampus universitasnya sangat indah itu.
Semula
saya tidak ingin bertemu mahasiswa Indonesia di Columbia State
University ini. Saya kan baru bertemu mereka. Tiga bulan lalu. Sahur
bersama. Dan berbuka bersama.
Tapi
ada pesan melalui Whatsapp. Saat saya baru selesai makan malam. Bersama
tiga orang di pinggiran kota itu. ''Sekarang ini kami lagi ngobrol
dengan pak Bambang Harimurti,'' kata Yanu Prasetyo dalam WA-nya.
''Mengingatkan kami saat pak Dahlan ke sini dulu,'' tambahnya.
''Lho saya juga di Columbia. Hahahaha....,'' jawab saya.
''Di mana? Saya jemput ya?'' balasnya.
''Tidak usah. Beri saja saya alamat. Saya ada mobil sendiri,'' kata saya.
Alamatnya
ternyata sama: tempat sahur bersama dulu. Dalam 10 menit saya tiba.
Kini ada 26 mahasiswa kita di Columbia State University. Semua ambil
master. Atau doktor. Tidak ada lagi yang S1.
Ada
yang ambil doktor nano teknologi. Seperti Naadaa Zakiyyan itu. Yang
kini berkumis rapi itu. Yang rambutnya dicat kuning kemerahan itu. Yang
tidak jadi pulang ke Bondowoso karena langsung S3 itu.
Ada
yang ambil doktor kimia: M. Andriansyah. Anak Lombok itu. Yang awalnya
di SMA Mataram lalu dapat beasiswa untuk SMA di Kanada itu. Yang
rambutnya juga dicat kemerahan itu.
Ada yang ambil doktor Emaging. Doktor Matematik.
Ada
yang ambil master ilmu komputer. Dewi Kharismawati. Yang terus
berjilbab itu. Dan ada satu yang ambil master jurnalistik: Indah
Setiawati. Yang dulu wartawati The Jakarta Post.
Bambang Harimurti, kolega saya di majalah Tempo dulu akan memberi seminar di situ. Di jurusan jurnalistik itu. Hari ini.
Dari Columbia saya masih akan terus ke timur. Mengejar matahari terbit.(dahlan iskan)
COMMENTS